SURABAYA-Persidangan perkara dugaan pelanggaran pengelolaan bahan kimia berbahaya atau disebut perkara “sianida” dengan terdakwa Sugiarto Sinugroho dan Steven Sinugorho kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (22/10/2025). Agenda sidang kali ini menghadirkan keterangan ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Nur Basuki Minarno, yang memberikan pandangan penting mengenai karakter hukum perkara tersebut.
Dalam persidangan yang dipimpin majelis hakim PN Surabaya, Prof. Basuki menjelaskan bahwa berdasarkan kajian hukum pidana, perkara tersebut semestinya termasuk dalam ranah pelanggaran administratif, bukan pidana murni. Menurutnya, penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran administrasi tanpa melalui tahapan sanksi administratif terlebih dahulu bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku.
Keterangan ahli tersebut kemudian disampaikan kembali oleh kuasa hukum terdakwa, Dr. Rihantoro Bayuaji SH MH, yang menegaskan bahwa perkara ini terlalu prematur untuk dibawa ke pengadilan pidana. “Dalam bidang hukum, dikenal konsep administrative penal law, yaitu penerapan hukum pidana di bidang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Artinya, sanksi administrasi harus diterapkan lebih dulu sebelum masuk ke sanksi pidana,” ujar Rihantoro di ruang sidang.
Ia menambahkan bahwa dengan adanya prinsip tersebut, hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium, yaitu upaya terakhir setelah upaya administratif dianggap tidak efektif. “Jika pelanggaran administratif langsung dipidana, maka hal itu bertentangan dengan asas proporsionalitas dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rihantoro menilai aparat penegak hukum seharusnya mendahulukan sanksi administratif seperti teguran, pembekuan, atau pencabutan izin, sebelum membawa perkara ini ke ranah pidana. “Perusahaan klien kami, PT Sumber Hidup Chemindo (SHC), memiliki rekam jejak yang baik dan belum pernah mendapat sanksi apa pun. Karena itu, bila ada kekeliruan administratif, seharusnya dilakukan pembinaan terlebih dahulu, bukan pemidanaan,” ujarnya.
Dalam sidang yang sama, Rihantoro juga menyoroti penerapan pasal penyertaan terhadap terdakwa Sugiarto. Ia mengacu pada pandangan Prof. Basuki yang menjelaskan konsep meeting of the minds atau kesamaan kehendak antar pelaku sebagai dasar keterlibatan dalam tindak pidana. “Dalam fakta persidangan, tidak ada bukti bahwa Sugiarto ikut mengurus izin, menandatangani kontrak, atau terlibat langsung dalam kegiatan operasional perusahaan,” kata Rihantoro.
Menurutnya, penyertaan yang didasarkan semata-mata pada jabatan direktur dalam anggaran dasar perusahaan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan. “Secara faktual, Sugiarto tidak mengendalikan perusahaan,” tambahnya.
Majelis hakim mencatat keterangan ahli dan pandangan kuasa hukum tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan pada tahap berikutnya.
Persidangan perkara ini dijadwalkan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan terdakwa. {☆}




