SURABAYA-Sidang lanjutan perkara dugaan pelanggaran penggunaan bahan kimia berbahaya berupa sianida dengan terdakwa Sugiarto dan Steven Sinugroho kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (27/10/2025). Agenda sidang kali ini menghadirkan kedua terdakwa untuk saling memberikan keterangan di bawah sumpah.
Dalam keterangannya, terdakwa Sugiarto menjelaskan bahwa perusahaan yang kini dipersoalkan merupakan perusahaan keluarga yang ia dirikan bersama istrinya sejak tahun 2000. Perusahaan itu bergerak di bidang perdagangan bahan kimia umum. Namun, empat tahun terakhir ia mengaku sudah tidak aktif dalam pengelolaan perusahaan.
“Perusahaan ini saya dirikan bersama istri. Namun empat tahun terakhir saya sudah tidak aktif lagi. Saya sudah bilang ke Steven, saya tidak bisa membantu lagi karena sudah capek dan berumur. Penyerahan waktu itu hanya dilakukan secara lisan saja karena ini perusahaan keluarga,” ujar Sugiarto di hadapan majelis hakim.
Sugiarto menegaskan bahwa dirinya tidak lagi mengetahui detail operasional perusahaan, termasuk soal perizinan dan kegiatan impor bahan kimia yang dilakukan belakangan.
“Sejak tidak aktif, saya tidak ikut campur urusan izin atau transaksi perusahaan,” tambahnya.
Kuasa hukum Sugiarto, Dr. Rihantoro Bayuaji, SH, MH, menegaskan kliennya telah mendelegasikan pengelolaan perusahaan secara faktual kepada keluarga dan sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas bisnis sejak empat tahun terakhir.
“Setelah kasus ini muncul, barulah beliau tahu ada persoalan. Sebelumnya sama sekali tidak cawe-cawe,” tegas Rihantoro.
Sementara itu, terdakwa Steven Sinugroho, yang menjabat sebagai direktur PT Sumber Hidup Chemindo (SHC) sejak tahun 2015, menjelaskan bahwa perusahaannya memperdagangkan berbagai bahan kimia umum, tidak seluruhnya termasuk kategori bahan berbahaya.
“Di dalam akta pendirian, bidang usaha kami adalah perdagangan bahan kimia secara umum. Gudang kami berada di Margomulyo, Surabaya. Kami memiliki izin usaha dan izin perdagangan bahan kimia dari PT PPI yang diperbarui setiap dua tahun sekali,” kata Steven.
Ia menambahkan, kerja sama terakhir dengan PT PPI dilakukan pada tahun 2021. Adapun kegiatan impor sianida dilakukan dari Tiongkok, diperuntukkan bagi keperluan industri pertambangan emas melalui kerja sama dengan PT SPM.
“Pada Desember 2023 kami menandatangani MoU dengan PT SPM didalam Mou disebut pemberian penyediaan lahan pengolahan. Namun penandatanganan waktu itu atas nama pribadi adik saya. Pembelian pertama bahan sianida dilakukan tahun 2024 setelah kami mendapat izin impor dari PT PPI,” jelas Steven.
Menurut Steven, impor dilakukan dua kali, masing-masing 200 ton dan 300 ton, dengan total sekitar 500 ton sianida, pembelian yang kedua, Sebagian bahan tersebut dijual ke pihak lain karena ketidak cocokan lahan pengolahan dan risiko kedaluwarsa.
“Sebagian kami jual ke perusahaan lain karena tempat pengelolaan waktu itu tidak sesuai dan barang sudah hampir kedaluwarsa. Takut rusak, jadi kami jual,” ujarnya.
Steven juga menjelaskan bahwa harga pembelian dari PT PPI lebih mahal dibanding harga impor langsung dari luar negeri.
“Yang membedakan itu pada drum PT,PPI resmi lengkap dengan stiker dan hologram PT PPI. Tapi setelah kami mengurus izin impor sendiri, ternyata harga dari luar negeri jauh lebih murah,” ungkapnya.
Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat menyoroti alasan terdakwa menjual sebagian bahan sianida tersebut. Steven menjawab bahwa penjualan dilakukan semata karena kendala tempat dan upaya menghindari kerusakan barang.
Selain itu, Steven juga menerangkan bahwa perusahaan yang ia kelola bersifat keluarga penuh, di mana pengelolaan dan pembagian tugas sering dilakukan secara fleksibel tanpa perubahan akta resmi.
“Pak Sugiarto sudah pasif sekitar empat tahun terakhir, tapi memang belum dibuatkan perubahan akta karena ini perusahaan keluarga,” terangnya.
Dalam sidang sebelumnya pada 15 Oktober 2025, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Prof. Nur Basuki Minarno, memberikan pandangan hukum yang menilai bahwa perkara ini lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme administratif sebelum masuk ke ranah pidana.
“Pidana itu ultimum remedium, bukan primum remedium. Artinya, sanksi pidana digunakan sebagai jalan terakhir setelah langkah administratif seperti teguran, pembekuan, atau pencabutan izin ditempuh,” ujar Prof. Basuki di hadapan majelis hakim.
Pandangan ahli ini diperkuat oleh kuasa hukum kedua terdakwa. Menurut Dr. Rihantoro Bayuaji, penegakan hukum terhadap PT SHC seharusnya mengutamakan pembinaan administratif, bukan langsung kriminalisasi.
“Negara seharusnya memberi kesempatan pembinaan terlebih dahulu. Kalau langsung dipidana tanpa tahapan administratif, itu tidak adil bagi pelaku usaha yang selama ini taat aturan,” katanya.
Ia menambahkan, PT Sumber Hidup Chemindo memiliki catatan kepatuhan yang baik dan tidak pernah mendapatkan teguran dari otoritas pengawas.
“Kalau perusahaan yang patuh saja langsung dikriminalisasi, banyak pelaku usaha lain akan takut beroperasi. Ini bertentangan dengan semangat perlindungan hukum administrasi,” tambahnya.
Lebih jauh, Rihantoro menilai penerapan pasal penyertaan terhadap Sugiarto terlalu formalistik.
“Menjadikan posisi direktur di atas kertas sebagai dasar pertanggungjawaban pidana jelas keliru. Pertanggungjawaban pidana harus berdasarkan perbuatan nyata, bukan formalitas administratif,” pungkasnya.
Kuasa hukum berharap majelis hakim mempertimbangkan pandangan ahli hukum pidana tersebut agar perkara ini dapat dinilai secara objektif dan tidak menimbulkan preseden buruk bagi pelaku usaha yang beritikad baik serta beroperasi sesuai peraturan.{☆}




