Anak-Istri di Balik Modus Cek Kosong: Sidang CV BIA Menguak Skandal Keluarga

SURABAYA-Persidangan kasus penipuan Rp.6,2 miliar dengan terdakwa Henry Wibowo, pemilik CV Baja Inti Abadi (BIA), terus menyeret nama-nama keluarga dekat. Setelah Variani, mantan istri sekaligus komisaris, memberi keterangan yang janggal, kini giliran Kelvin, putra Henry, yang disebut majelis hakim sebagai saksi kunci.

Hakim menegaskan, dua figur keluarga ini tidak bisa bersembunyi di balik dalih “formalitas”. Dalam kaca mata hukum perusahaan, jabatan komisaris maupun direktur yang tercatat dalam akta memiliki konsekuensi serius. Variani: Komisaris yang “Tidak Tahu”

Di ruang Garuda 1 PN Surabaya, Variani mengaku dirinya memang tercatat sebagai komisaris CV BIA pada periode 2019–2022. Namun ia bersikeras jabatan itu hanya sebatas formalitas.

“Saya tidak tahu apa tugas komisaris, dan tidak ikut mengurus perusahaan. Itu urusan Henry,” ucapnya.

Pernyataan ini membuat majelis hakim terperanjat. Ketua Majelis Hakim Meilia Christina Mulyaningrum bahkan menyebut CV BIA sebagai “perusahaan aneh”, karena komisaris dan direksi berganti, tapi kendali tetap pada Henry.

Menurut regulasi, alasan Variani tidak dapat diterima. Pasal 108 UU Perseroan Terbatas (UU PT) No. 40 Tahun 2007 menegaskan, komisaris memiliki kewajiban pengawasan terhadap direksi. Bahkan, Pasal 114 UU PT menyebut, komisaris bisa ikut dimintai pertanggungjawaban apabila lalai mengawasi hingga menimbulkan kerugian.

“Jabatan komisaris bukan sekadar stempel keluarga. Kalau Variani membiarkan transaksi berjalan tanpa fungsi pengawasan, maka secara hukum ia berpotensi turut bertanggung jawab,” jelas Dr. Rahayu Pranoto, pakar hukum perusahaan Universitas Airlangga, saat dimintai pendapat.

Nama Kelvin, anak Henry, juga berulang kali disebut  muncul dalam sidang. Berdasarkan akta perusahaan, ia menjabat sebagai komisaris pada 2022–2023. Namun saksi-saksi lain, seperti Isnaeni (mantan direktur) dan Erika (keuangan), menegaskan bahwa seluruh keputusan pembayaran dan pengeluaran BG (bilyet giro) tetap dikendalikan Henry.

Kendati demikian, posisi Kelvin tidak bisa dianggap “boneka belaka”. Pasal 97 UU PT menegaskan, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan. Jika pengelolaan menyebabkan kerugian, direksi wajib menanggung secara pribadi maupun tanggung renteng.

Kalau namanya terdaftar resmi sebagai komisaris Kelvin tidak bisa cuci tangan dengan alasan tidak ikut campur. Dalam hukum perusahaan, tanggung jawab melekat pada jabatan, bukan pada aktivitas sehari-hari.

Pola CV BIA memperlihatkan praktik umum perusahaan keluarga di Indonesia: jabatan direksi dan komisaris dibagi ke anggota keluarga, tetapi kendali tetap di satu orang. Begitu masalah muncul, alasan klasik keluar: “tidak tahu,” “formalitas,” atau “hanya tanda tangan.”

Hakim dalam sidang pun sempat menohok saksi Isnaeni yang mengaku tidak tahu apa-apa meski menandatangani cek kosong. “Direktur tidak boleh cuci tangan. Tanggung jawab melekat,” kata hakim tegas.

Dengan pola ini, risiko kerugian selalu jatuh ke pihak luar—dalam hal ini PT Nusa Indah Metalindo (PT NIM) dan mitra lain yang terjebak cek kosong. Sementara pihak internal berusaha lepas tangan.

Dalam kasus Henry Wibowo, jelas terlihat bukan hanya terdakwa yang berperan, melainkan juga lingkar keluarga yang masuk struktur formal perusahaan. Henry Wibowo pemilik modal & pengendali transaksi.

“Variani  komisaris yang lalai fungsi pengawasan”, ujarnya.

Sementara, Kelvin  komisaris yang tercatat, tapi tidak melaksanakan tanggung jawab pengurusan, akunya pada majelis Hakim.

Menurut hukum perusahaan, semua pihak ini dapat dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya secara pidana (penipuan & penggelapan) tapi juga perdata untuk ganti rugi.

Kalau majelis hakim serius menggali, bisa saja Variani dan Kelvin juga ikut dimajukan ke ranah hukum, karena keduanya memiliki posisi sah dalam akta. Membiarkan diri dipakai sebagai ‘stempel’ saja sudah bentuk kelalaian hukum.

Pasal 97 UU PT  Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan. Pasal 108 UU PT  Komisaris wajib mengawasi kebijakan dan pengurusan perseroan. Pasal 114 UU PT  Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban apabila lalai.

Kasus Serupa (Jakarta, 2021): Komisaris dijatuhi tanggung jawab perdata karena membiarkan direksi melakukan penggelapan dana perusahaan Rp12 miliar.