
SURABAYA-Sidang lanjutan terdakwa Pemilik CV. Baja Inti Abadi (BIA), Henry Wibowo, dengan agenda saksi di Pengadilan Negeri Surabaya atas dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam transaksi jual beli besi senilai Rp6,24 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Henry dengan Pasal 379a KUHP tentang perbuatan curang dalam pembelian dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Sidang yang berlangsung di ruang Garuda 1 itu menghadirkan tiga saksi dari pihak pelapor, PT Nusa Indah Metalindo (PT NIM), yaitu Budi Suseno, Ayu Yulia Putri, dan Anisa Intan Pramesti.
Dalam keterangannya, saksi Budi Suseno, Manajer Marketing PT NIM sekaligus pelapor, menyebut bahwa kerugian perusahaan timbul dari 62 nota penjualan yang jatuh tempo sejak Desember 2023 dan tidak dibayar oleh CV BIA. Total kerugian mencapai Rp6,24 miliar.
“Awalnya kami percaya karena terdakwa adalah pelanggan lama. Tapi sejak tiga tahun terakhir, pembayaran selalu dijanjikan tanpa realisasi,” ungkap Budi di hadapan majelis hakim.
Menurutnya, berbagai upaya penagihan telah dilakukan, baik secara lisan, tertulis, maupun somasi. Bahkan, mediasi pun sudah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Saksi juga menyampaikan bahwa informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa besi-besi yang dikirimkan ke CV BIA telah dijual kembali ke pihak ketiga tanpa adanya pelunasan ke PT NIM.
Saksi kedua, Ayu Yulia Putri, dari bagian administrasi pembelian PT NIM, memperkuat keterangan Budi. Ia menjelaskan bahwa terdapat 54 Purchase Order (PO) senilai lebih dari Rp. 6 miliar yang belum dibayar.
Sementara itu, saksi ketiga, Anisa Intan Pramesti, dari bagian administrasi keuangan PT NIM, memaparkan bahwa pihaknya sempat menerima enam lembar bilyet giro (BG) dari terdakwa sebagai bentuk pembayaran. Namun, saat diajukan ke bank, seluruh BG ditolak.
“Penolakan dilakukan karena saldo tidak mencukupi, dan nama pemilik rekening tidak bisa dikonfirmasi,” jelas Anisa.
Dari total transaksi penjualan besi sebanyak 367 ton yang dilakukan PT NIM kepada CV BIA sepanjang 2023, nilainya mencapai Rp31,7 miliar. Namun hanya sekitar Rp25,5 miliar yang telah dibayarkan, menyisakan tunggakan sebesar Rp. 6,24 miliar.
Jaksa dalam dakwaannya menyatakan, bahwa modus operandi terdakwa adalah menggunakan badan usaha CV BIA untuk melakukan pembelian putus dengan pembayaran tempo 50–60 hari. Namun setelah barang diterima dan dijual kembali, pelunasan tidak dilakukan.
Menariknya, dalam sidang tersebut, nama Fariani, istri dari terdakwa Henry Wibowo, turut disebut oleh para saksi. Budi mengungkap bahwa sebelum tahun 2024, Henry belum tercatat dalam akta resmi pengurus CV BIA. Pada saat PT NIM melakukan somasi pada akhir 2023, pengurus yang tercatat adalah Mochammad Isnaeni dan Fariani.
“Perubahan akta baru dilakukan pada 2024, barulah nama Henry muncul sebagai komanditer,” terang Budi.
Menurutnya, hal ini menimbulkan dugaan adanya upaya mengalihkan tanggung jawab hukum dengan mengubah struktur kepengurusan CV BIA. Apalagi, lanjut Budi, Fariani sempat menjanjikan pengembalian dana sebesar Rp1 miliar dan satu unit apartemen, namun ditolak oleh PT NIM karena tidak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan.
“Kami menduga ada peran istri terdakwa dalam pengelolaan perusahaan, bahkan ikut menawarkan penyelesaian. Tapi mengapa tidak ikut dijadikan tersangka?” tegas Budi di ruang sidang.
Sidang dan akan dilanjutkan pada pekan mendatang dengan agenda pemeriksaan lanjutan. Publik dan para pelaku usaha kini menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk mengurai kompleksitas perkara ini, termasuk kemungkinan penambahan tersangka lain yang turut bertanggung jawab atas kerugian PT. NIM. {Tim}