Majelis Hakim Vonis Bersalah  Mantan Direktur RS Mata Undaan Surabaya, Pelapor Angkat Bicara

Tetdakwa dr. Sudharno ketika sidang berlangsung.

SURABAYA-Ketua Majelis Hakim Tjokorda Gede Arthana, SH, MH yang mengadili terhadap terdakwa mantan Direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya dr Sudjarno, Selama 3 bulan percobaan. Namun, hukuman ini tidak perlu dijalani oleh karena
terdakwa dianggap terbukti bersalah telah melanggar pasal 311 Ayat (1 )
KUHP.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Gede Welly. dari Kejaksaan Negeri Tajung Perak Surabaya, menuntut 4 bulan dengan percobaan 8 bulan. Untuk putusan terhadap tetdakwa dr Sudjarno yang didampingi penasehat Hukum H Soemarso, SH tersebut langsung mengajukan banding terhadap vonis tersebut.

Sementara itu dr Lidya Nuradianti pun angkat bicara sebagai pelapor perkara itu menyatakan tak keberatan dengan vonis hakim. Menurutnya, hukuman percobaan kepada terdakwa dirasa cukup untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah dalam kasus yang menyangkut namanya itu.

“Dengan vonis percobaan tersebut sudah cukup membuktikan bahwa saya tidak bersalah, Saya tegaskan lagi, saya hanya ingin membersihkan nama saya atas fitnah dan pencemaran nama baik,” beber Lidya didampingi kuasa hukumnya, DR. George Handiwiyanto, SH. MH

Timbulnya perkara ini kata lidya, bawa terdakwa Sudjarno pernah memberikan surat teguran kepadanya yang notabene anak buahnya di rumah sakit. Lidya dianggap melanggar etika profesi dan prosedur kerja. Akan tetapi, permasalahannya berada pada seorang pasien Lidya, yang ternyata pada mata kirinya telah operasi oleh perawatnyanya sendiri. Padahal, dalam kode etik dan SOP perawat menyebut, perawat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan operasi. Lidya menegaskan, operasi itu pun tidak dalam sepengatahuannya. Ia menuturkan, kala itu ia tengah melakukan tindakan operasi diruangan lain dengan pasien yang berbeda pula.

“Itu (operasi) tanpa sepengetahuan saya. Karena saat itu saya mengoperasi pasien lain di ruangan lain yang steril, sedangkan operasi yang dilakukan perawat di ruangan non steril,” jelasnya.

“Saat itu, ada 6 atau 7 pasien yang harus saya tangani secara beruntun. Makannya saya tak tahu,” kata Lidya menambahkan.

DR. Gerorge Handiwiyanto, SH, MH. Sebagai penasehat hukum dan dr. Lidya Nuradiyanti.

Lidya memaparkan, bahwa sebenarnya kasus tersebut telah dilakukan upaya mediasi, dimana perawat yang bernama Anggi yang kala itu mengoperasi pasien Lidya telah membuat pernyataan yang berisi pernyataan yang menyebut Anggi telah melakukan operasi atas inisiatif dirinya sendiri. Lantas, Lidya menganggap usai adanya surat pernyataan tersebut, maka kasus itu dinyatakan closed atau selesai.

“Saya tegaskan, itu bukan perintah saya. Saat itu, saya juga tidak tahu jika dia (Anggi) melakukan operasi. Itu tanpa sepengetahuan saya,” jelasnya.

Dr Lidya menjelaskan, bahwa Anggi memang tak memiliki wewenang untuk mengoperasi kala itu lantaran tak memiliki kapasitas dan tak sesuai SOP atau regulasi keperawatan. Akan tetapi, pihak manajemen rumah sakit malah memberikan surat teguran kepada Lidya, bukan kepada Anggi. “Surat cinta” itu diterima Anggi beberapa bulan setelah kejadian.

“Surat (teguran) itu, diberikan 2 bulan setelah kejadian. Padahal pasien juga sudah dilayani dengan baik dan sepakat tidak menuntut. Jadi, kalau ada keterangan pasien protes itu tidak benar, ada bukti tanda tangan pasien kok,” paparnya.

Oleh karena itu, Lidya merasa didzolimi. Tak berdiam diri, Lidya lantas melaporkan kejadian itu ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya. Selanjutnya, laporan Lidya diproses. Beberapa waktu kemudian, terdakwa Sudjarno diminta mencabut surat teguran . Akan tetapi, Sudjarno abai.

“Sampau 7 bulan, tak ada tindak lanjut saya melaporkan kasus ini ke Polrestabes Surabaya. Setelah2 bulan diproses penyidik, IDI Surabaya baru mengeluarkan surat bila saya tak bersalah,” aku dokter spesialis mata tersebut.

Seharusnya, lanjut Lidya, surat teguran tersebut diberikan bila ada pasien yang protes atau tidak terima saat itu. Keanehan dirasakan Lidya lantaran pasien baru menuntut usai 7 bulan pasca kejadian.

Harap diketahui, mulanya Sudjarno memberikan surat teguran kepada dokter Lidya, selaku anak buahnya di rumah sakit tempatnya bekerja. Lidya dianggap Sudjarno melanggar etika profesi dan prosedur kerja.

Namun, letak permasalahan dirasa Lidya berada pada seorang pasiennya, yang saat itu mata kirinya dioperasi oleh perawatnya bernama Anggi. Dalam peraturan perawat yang ada, menyebutkan bila perawat tak ada kewenangan mengoperasi, melainkan dokter yang bersangkutan.

Selanjutnya, pasien melakukan komplain ke rumah sakit. Bahkan meminta ganti rugi lantaran perbuatan tersebut dianggap sebagai malpraktik. Lalu, Sudjarno mengirim surat teguran kepada Lidya dan perawatnya, Anggi
setelah menerima surat itu, Lidya merasa keberatan. Lidya menegaskan, operasi yang dilakukan perawat Anggi tanpa sepengetahuan dia. Lalu, Sudjarno selaku direktur tak berwenang menegur dengan tuduhan melanggar kode etik. Kasus tersebut berlanjut, yakni manajemen dan Sudjarno rapat dengan pihak yayasan.

Ketika itu, Sudjarno menunjukkan surat teguran kepada pengurus yayasan yang seharusnya surat tersebut hanya ditujukan pada Lidya.

Perbuatan Sudjarno dianggap penghinaan yang menyerang kehormatan Lidya lantaran tak memiliki kewenangan menilai dokter melanggar etik atau tidak. Kemudian, Lidya menjadi bahan pembicaraan oleh internal rumah sakit.

DR George Handiwiyanto menegaskan, bahwa hanya ingin kliennya tak disangkut pautkan dengan permasalahan yang seharusnya ia dilibatkan. George menilai, kliennya terbukti tidak bersalah seperti yang dituduhkan.

“Beliau (dr Lidya) kan tidak melakukan seperti yang dituduhkan, tidak ada kaitannya”. {Soni}